Senin, 30 Juni 2008

Hura-hura Tayangan Smackdown

BEBERAPA minggu belakangan, sering tersiar kabar berita mengenai anak-anak yang mengalami cedera, bahkan meninggal dunia, akibat meniru atau sebagai korban dari kekerasan yang meniru adegan-adegan dalam tayangan Smackdown. Dilaporkan sudah jatuh 13 korban dari Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Angka ini tentu tidak menutup kemungkinan dapat bertambah banyak dari hari ke hari.

Respon masyarakat pun beragam. Ada yang meminta agar tayangan ini segera dihentikan karena dirasa tidak memberikan manfaat dan dapat merusak mental penonton terutama anak-anak. Ada juga yang terus mendukung agar acara ini diteruskan tetapi dengan jam tayang yang disesuaikan agar anak-anak tidak menontonnya. Kedua kubu ini pun saling beradu pendapat, tidak kalah serunya dengan pertandingan Smackdown itu sendiri.

Sebenarnya masalah utama dari huru-hara ini tidak terletak dari hiburan (atau bagi segelintir orang disebut kekerasan) yang disuguhkan dalam tayangan ini, melainkan apa yang terjadi dengan pemberitaan jaman sekarang. Dan juga mengenai apa yang terjadi dengan dunia pendidikan moral pada anak-anak jaman sekarang.

Sekitar 5 tahun lalu, Smackdown juga ditampilkan di televisi lokal, demikian sukses sampai berhasil mendatangkan salah satu superstar/pegulat ke Jakarta. Demikian sukses sehingga komunitas-komunitas penggemar yang sudah ada semakin berkembang dan semakin banyak dengan segala pernak-perniknya seperti video game, kaos, poster, action figure, replika sabuk kejuaraan (termasuk yang penulis punya), koleksi musik, video pertandingan, video segmen maupun video entrance dan sebagainya. Demikian sukses sehingga ada saja yang beranggapan bahwa tayangan ini tidak mendidik.

Tetapi ketika itu, entah karena pemberitaannya tidak segembar-gembor sekarang atau belum berani seperti sekarang, jarang sekali ada pemberitaan mengenai adanya cedera sebagai pengaruh menonton Smackdown, termasuk kejadian unik ketika itu saat penulis sedang cabut pelajaran ke ruang unit kesehatan sekolah mendapati seorang siswa dari kelas unggulan datang dengan keluhan berdarah telinganya setelah meniru adegan Smackdown di kelasnya.

Kecenderungan pemberitaan seputar korban peniruan adegan Smackdown seolah-olah sekaligus memberi vonis bahwa tayangan ini berbahaya bagi anak-anak. Memang pada prinsipnya bagi yang tidak memiliki ketertarikan pada tayangan yang satu ini, tayangan Smackdown tidak memberikan manfaat. Ketika ketidak tertarikkan pribadi kemudian dirumuskan sebagai opini publik, di situlah muncul ketidak adilan dan sesuatu yang menjual dalam dunia pemberitaan.

Padahal perlu ditelusuri dahulu, apakah benar anak-anak itu meniru adegan dalam Smackdown, bukan oleh pertunjukkan kekerasan yang kerap muncul di televisi dalam bentuk pemberitaan atau sinetron, atau bahkan kekerasan yang sekarang kerap muncul di jalanan dalam kehidupan sehari-hari? Apa betul kekerasan itu timbul semata-mata karena menonton Smackdown, tidak karena lingkungan keluarga atau lingkungan sekitar para korban itu penuh dengan kekerasan? Bagi penulis, adalah bodoh bagi mereka yang menelan bulat-bulat suatu pemberitaan tanpa melakukan mengetahui kejadian sebenarnya.

Kemudian bagaimana dengan peran keluarga dan pendidik selama ini dalam memberikan pengertian kepada anak-anak yang mereka cintai bahwa tayangan Smackdown tidak untuk ditiru? Apakah mereka menjelaskan sekenanya, cenderung mengalah atau sekadar menjelek-jelekkan tayangan tersebut tetapi tidak memberikan peringatan keras yang nyata kepada anak-anaknya?

Sebenarnya tampak di sini ada suatu kecenderungan orang tua yang anak-anaknya menggemari tayangan Smackdown untuk sepenuhnya melemparkan tanggung jawab kepada pengelola acara, terutama setelah terjadi kecelakaan karena mereka menganggap adanya label acara dewasa sebagai label belaka sementara acara berjalan terus.

Pihak stasiun televisi telah susah payah memberitahukan dengan label di kanan atas layar maupun secara lisan melalui televisi bahwa tayangan ini diperuntukkan bagi orang dewasa. Dewasa dalam arti mental, tidak sekadar pengertian anatomis dan birahi. Apakah tulisan itu tidak cukup sebagai modal orangtua dan pendidik dalam memberikan pengertian kepada anak-anak mereka? Apakah para orangtua dan pendidik tersebut mengalami kesulitan membaca?

Asumsi di atas tidaklah tanpa dasar. Penulis sempat bertanya kepada salah satu adik penulis yang masih SD, apakah di lingkungan sekolahnya terdapat kejadian-kejadian serupa seperti yang diberitakan di televisi seputar pengaruh buruk acara Smackdown. Ternyata di lingkungan sekolahnya, yang menurut ukuran penulis diisi oleh anak-anak pintar dan orangtua yang kaya raya entah jujur atau KKN, tidak ada sama sekali kekerasan macam yang diberitakan. Ini terkait dengan kualitas guru di sekolah tersebut serta pendidikan orangtua terhadap anaknya yang berhasil memberikan pengertian terhadap tayangan Smackdown.

Jadi memang benar, perlu diperhatikan pula latar belakang pendidikan dalam lingkungan para korban Smackdown tersebut, apakah orangtua dan pendidik telah memiliki wawasan yang cukup untuk memberi pengertian kepada anaknya? Atau mereka memberi pengertian juga dengan kekerasan, misalnya apabila tertangkap basah sedang menonton anak tersebut langsung kena tampar atau tendang?

Namun sebaiknya “kesalahan” tidak sepenuhnya dilemparkan kepada pihak televisi, orangtua dan pendidik. Komunitas penggemar Smackdown juga sebaiknya bertanggung jawab untuk masalah yang sebenarnya sepele tetapi telah memakan korban jiwa ini. Demi kelanggengan komunitas mereka sendiri, seharusnya mereka mencari akal untuk mempertahankan opini publik bahwa tayangan Smackdown tidak sebiadab yang orang-orang kira. Sebaiknya para angota komunitas tersebut jangan sekadar menikmati tayangan tersebut lalu tinggal protes dan banyak kritik bila ada kesalahan sedikit dalam penayangan acara Smackdown.

Penulis mendapati berbagai respon tajam dalam suatu website komunitas penggemar Smackdown seputar opini untuk menghentikan tayangan ini. Namun menurut penulis semua itu sia-sia karena opini mereka yang bersungut-sungut hanya akan diam membisu dalam bentuk tulisan maupun sekadar di ujung bacot. Tidak ada langkah konkret macam upaya kampanye pengertian mengenai bahaya yang mungkin timbul akibat tayangan Smackdown ke sekolah-sekolah, padahal mayoritas anggota komunitas tersebut dari golongan orang yang berada. Para anggota komunitas tersebut tahu benar mengenai risiko yang terjadi bagi para superstar/pegulat yang terlibat dalam pertandingan Smackdown. Dan mungkin sudah saatnya mereka berbagi pengetahuan mengenai risiko tersebut kepada penonton yang anak-anak.

Demi mencegah terjadinya huru-hara antara penggemar setia dan para penolak lengkap dengan argumen masing-masing, sebagai penutup penulis hendak memberikan solusi sebagai berikut:


Kepada para orangtua dan pendidik agar tidak acuh tak acuh kepada label dewasa yang tercantum dalam setiap detik acara Smackdown. Berikan pengertian dengan bijak (tanpa kekerasan maupun opini yang menyudutkan) bahwa sudah banyak anak-anak yang merasa dirinya dewasa sehingga meniru adegan Smackdown dan akibatnya dipanggil kembali ke pangkuan Illahi. Tidak semua adegan dalam Smackdown layak untuk ditiru, demikian pula semua tayangan televisi macam sinetron-sinetron religi yang kerap menampilkan tokoh angkuh, tokoh munafik atau tokoh tomat (tobat-tobat kumat), itupun tidak layak ditiru.
Kepada pengelola acara Smackdown, menurut penulis penempatan acara pada tengah malam merupakan usaha yang layak dihargai tetapi tidak menutup kemungkinan pula ada saja anak-anak gila yang colongan dari pengawasan orang tua dan berhasil menonton Smackdown pada jam tersebut. Sebaiknya sering-sering diselipkan pula iklan yang bernuansa horor, seperti pola iklan yang terjadi pada bulan puasa kemarin, agar anak-anak menjadi kecut dan urung menonton acara Smackdown.
Kepada para anggota komunitas penggemar Smackdown untuk segera mengambil langkah konkret, tidak sekadar ngambek, ngomel atau pengumpulan opini tanpa bernilai hukum (penulis menebak saat ini pasti sudah berjalan suatu petisi online untuk menolak penghentian acara Smackdown, basi lah itu) tetapi juga kampanye rehabilitasi nama tayangan Smackdown di mata publik.
Bagi anak-anak yang sampai sekarang masih meniru adegan-adegan Smackdown, sebaiknya kelebihan energi mereka dialihkan kepada latihan fisik yang sesuai umurnya. Penulis mendapatkan bahwa senam kecil macam SKJ ataupun upacara bendera tidak lagi diadakan di sekolah, ini menyebabkan stamina dan ketertarikan anak-anak kepada latihan fisik menjadi berkurang.
Apabila penghentian tayangan tidak terhindarkan, maka jangan sampai peredaran kepingan VCD maupun DVD yang resmi maupun bajakan berhenti. Paling tidak apabila jatuh korban lagi, yang terkena hanya mereka kaum-kaum mampu dan bertanda signifikan bahwa tayangan Smackdown memang jelas benar berdampak buruk bagi anak-anak bahkan setelah tayangannya di televisi sudah dihentikan.
Bila memang benar acara Smackdown yang dituntut untuk diberhentikan, maka hentikan saja acara Smackdown sekarang juga dengan catatan membiarkan acara-acara lain seperti RAW, hEAT, Bottomline, Afterburn, WWE Experience serta acara lepas macam PPV. Menurut pengamatan penulis Smackdown saat ini memang sedang lesu dan penuh on-ring gimmick yang terlalu aneh macam King Booker, Jimmy Wang Yang, the Boogeyman, Vito dan sebagainya. Jadi hentikan saja, toh Smackdown doang yang dituntut.
NB: Artikel ini disusun dan ditulis lebih kurang 2 hari sebelum pada akhirnya paket tayangan WWE, antara lain WWE Smackdown, WWE RAW, hEAT, Bottomline, Afterburn, WWE Experience dan lainnya dihentikan penayangannya pada tanggal 1 Desember 2006. Penulis secara pribadi hanya bisa pasrah dan berharap genre tayangan ini bukan berarti berakhir dalam belantika siaran Indonesia serta tidak ada lagi “korban” yang berjatuhan.


(iRHoTeP)


Posted by Rizky on December 2, 2006 11:02 PM Permalink

Tidak ada komentar: